FILSAFAT PANCASILA (Sistem Politik Tidak Memungkinkan Lahirnya Negarawan)
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Pendidikan
Kewarganegaraan sebenarnya dilakukan dan dikembangkan di seluruh dunia, meskipun
dengan berbagai istilah atau nama. Mata kuliah tersebut sering disebut civil education, citizenship education, dan
bahkan ada yang menyebut democracy
education. Mata kuliah ini memiliki peran yang strategis dalam
mempersiapkan warga negara yang cerdas, bertanggung jawab, dan berkeadaban. Berdasarkan
rumusan “Civil International” (1995),
disepakati bahwa pendidikan demokrasi penting untuk pertumbuhan civic culture, untuk keberhasilan
pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan demokrasi.
Dengan adanya penyempurnaan
kurikulum mata kuliah pengembangan kepribadian ini maka Pendidikan Kewarganegaraan
memiliki paradigma baru, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan berbasis Pancasila. Kiranya
akan menjadi relevan jika pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dewasa
ini sebagai sintesis antar civil
education, democracy education, serta
citizenship education yang berlandaskan Filsafat Pancasila, mengandung
muatan identitas nasional dan muatan makna pendidikan pendahuluan bela negara
(Mansor,2005). Hal ini berdasarkan kenyataan di seluruh negara di dunia.bahwa
kesadaran demokrasi serta implementasinya harus senantiasa dikembangkan dengan
basis filsafat bangsa, identitas nasional, kenyataan dan pengalaman sejarah
bangsa tersebut, serta dasar-dasar kemanusiaan dan keadaban. Dengan Pendidikan
Kewarganegaraan diharapkan intelektual Indonesia memiliki dasar kepribadian
sebagai warga negara yang demokratis, religius, berkemanusiaan, dan
berkeadaban.
B. TUJUAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Berdasarkan
Keputusan DIRJEN Dikti No.43/Dikti/Kep/2006, tujuan pendidikan kewarganegaraan
adalah dirumuskan dalam visi, misi, dan kompetensi sebagai berikut.
Visi Pendidikan Kewarganegaraan di
perguruan tinggi adalah sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan
penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa memantapkan
kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya, hal ini berdasarkan pada suatu
realitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah sebagai generasi bangsa yang
harus memiliki visi intelektual, religius, berkeadaban, berkemanusiaan, dan
cinta tanah air dan bangsanya.
Misi Pendidikan Kewarganegaraan di
perguruan tinggi adalah untuk membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya, agar
secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan
dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni dengan rasa tanggung jawab dan bermoral.
Oleh karena itu kompetensi yang
diharapkan mahasiswa adalah untuk menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki
rasa kebangsaan dan tanah air, demokrasi, dan berkeadaban. Selain itu kompetensi
yang diharapkan agar mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki daya saing, berdisiplin,
dan berpatisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem
nilai pancasila. Berdasarkan pengertian tersebut maka kompetensi mahasiswa dalam
perguruan tinggi tidak dapat dipisahkan oleh filsafat bangsa.
FILSAFAT PANCASILA
A. PENGERIAN FILSAFAT
Filsafat adalah
satu bidang ilmu yang senantiasa ada dan menyertai kehidupan manusia. Dengan
kata lain selama manusia hidup maka sebenarnya ia tidak dapat mengelak dari
filsafat, atau dalam kehidupan manusia senantiasa berfilsafat. Jika seseorang
hanya berpandangan bahwa materi merupakan sumber kebenaran dalam kehidupan, maka
orang tersebut bersifatkan materealisme. Jika seseorang bepandangan bahwa kenikmatan
adalah nilai terpenting dan tertinggi dalam kehidupan maka orang tersebut
berpandangan filsafat hedonisme, demikian juga jika seseorang berpandangan
bahwa dalam kehidupan masyarakat bangsa dan negara adalah kehidupan individu, maka
orang tersebut berfilsafat liberalisme, jikalau seseorang memisahkan antara
kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan dalam kehidupan agama, maka orang
tersebut berfilsafat sekulerisme, dan masih banyak pandangan filsafat lainnya.
Sebelum dipahami lebih lanjut
pengertian filsafat maka dipandang penting untuk terlebih dahulu memahami
istilah dan pengertian “filsafat”. Secara etimologi istilah “filsafat” berasal
dai bahasa Yunani “philein” yang
artinya “cinta” dan “sophos” yang
artinya “hikmah” atau “kebijaksanaan” atau “wisdom”
(Nasution 1973). Jadi secara harfiah istilah filsafat adalah mengandung makna
cinta kebijaksanaan.
Jika ditinjau dari lingkup
pembahasannya, maka filsafat meliputi banyak bidang bahasan antara lain tentang
manusia, masyarakat, pengetahuan, etika, estetika, agama dan bidang
lainnya.oleh karena itu, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka
muncul dan berkembang juga ilmu filsafat yang berkaitan dengan bidang bidang
ilmu tertentu, misalnya filsafat sosial, filsafat hukum, filsafat politik, filsafat
bahasa, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat lingkungan, filsafat agama, dan
filsafat yang berkaitan dengan bidang ilmu lainnya.
B. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN NEGARA
INDONESIA
Istilah ideologi
berasal dari kata “idea” yang berarti
gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita
dan “logos” yang berarti ilmu. Kata “idea” berasal dari bahasa Yunani “eiios” yang artinya bentuk.
Disamping itu ada kata “idein” yang
artinya melihat. Maka secara harfiah,
ideologi berarti ilmu pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian
sehari-hari, ”idea” disamakan artinya
dengan cita-cita. Cita-cita yang
dimaksud adalah cita-cita yang bersifat tetap dan harus dicapai, sehingga
cita-cita yang bersifat tetap itu sekaligus merupakan dasar, pandangan, atau
faham. Memang pada hakikatnya,antara dasar dan cita-cita itu sebenarnya dapat
merupakan satu kesatuan. Dasar ditetapkan karena atas suatu landasan,asas,atau
dasar yang telah ditetapkan pula. Dengan demikian, ideologi mencakup pengertian
tentang idea-idea, pengertian dasar, gagasan, dan cita-cita.
Sebagai suatu ideologi bangsa dan
negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu
perenungan atau pemikiran seseorang atau sekelompok orang sebagaimana
ideologi-ideologi lain di dunia, namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat
istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam
pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara, dengan kata lain
unsur-unsur yang merupakan materi(bahan)Pancasila tidak lain diangkat dari
pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materealis (asal bahan) Pancasila.
Unsur-unsur Pancasila tersebut
kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa, sehingga Pancasila
berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan negara Indonesia.
Dengan demikian, Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar
pada pandangan hidup dan budaya bangsa, dan bukannya mengangkat atau mengambil
ideologi dari bangsa lain. Selain itu, Pancasila juga bukan hanya merupakan
ide-ide atau perenungan dari seseorang saja, yang hanya memperjuangkan suatu
atau golongan tertentu, melainkan Pancasila pada hakikatnya untuk seluruh
lapisan serta unsur-unsur bangsa secara komperhensif karena ciri khas Pancasila
itu memiliki kesesuaian dengan bangsa Indonesia.
C. MAKNA NILAI-NILAI SETIAP SILA PANCASILA
Sebagai suatu dasar filsafat negara
maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem nilai, oleh karena itu
sila-sila Pancasila itu pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Meskipun
dalam setiap sila terkandung nilai-nilai yang memiliki perbedaan antara satu
dengan yang lainnya namun kesemuanya itu tidak lain merupakan satu kesatuan
yang sistematis. Oleh karena itu meskipun dalam uraian berikut ini semuanya itu
tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sila-sila lainnya. Konsekuensinya
realisasi setiap sila atau devasi setiap sila senantiasa, dalam hubungan yang
sistemik dengan sila-sila lainnya. Hal ini berdasarkan pada pengertian bahwa
makna sila-sila Pancasila senantiasa dalam hubungannya sebagai sistem filsafat.
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini
nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila Ketuhanan
Yang Maha Esa terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah sebagai
pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena
itu, segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara
bahkan moral negara, moral penyelenggara negara, politik negara, pemerintah
negara, hukum dan peraturan perundang-undangan negara, kebebasan dan hak asasi
warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab sebagai dasar fundamental dalam kehudupan kenegaraan, kebangsaan,
dan kemasyarakatan. Nilai kemanusiaan ini bersumber pada dasar filosofis
antropologis bahwa pada hakikatnya manusia adalah susunan kodrat rohani(jiwa
dan raga), sifat kodrat individu dan makhluk sosial, kedudukan kodrat makhluk
pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai
bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk yang beradab. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah mengandung nilai
suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada
potensi budi nurani manusia dalam hubungan norma-norma dan kebudayaan pada
umumnya baik terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia maupun terhadap
lingkungannya. Nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama.
3. Persatuan Indonesia
Dalam sila persatuan Indonesia
terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia
monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Negara adalah
merupakan suatu persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk
negara yang berupa suku, ras, kelompok, golongan maupun kelompok agama.
Oleh karena itu,
perbedaan adalah bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas
elemen-elemen yang membentuk negara.Konsekuensinya adalah beraneka ragam tapi
satu, meningkatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam suatu
seloka Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan bukannya untuk diruncingkan menjadi
konflik dan permusuhan melainkan diarahkan pada suatu sintesa yang saling
menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan
bersama sebagai bangsa.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Nilai yang
terkandung di dalamnya adalah bahwa hakikat negara adalah sebagai penjelmaan
sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hakikat
rakyat adalah sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa yang
bersatu yang bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu
wilayah negara. Rakyat merupakan subjek pendukung pokok negara. Negara adalah dari
rakyat dan untuk rakyat, oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula
kekuasaan negara. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung nilai demokrasi
yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam kehidupan bernegara.
5. Persatuan Indonesia
Dalam sila kelima
terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam hidup
bersama. Maka didalam sila kelima tersebut terkandung nilai keadilan yang harus
terwujud dalam kehidupan sosial. Keadilan sosial tersebut didasari dan dijiwai
oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan bangsa dan
negaranya serta manusia dengan Tuhannya.
Konsekuensinya nilai-nilai keadilan
yang harus terwujud dalam hidup bersama adalah meliputi (1) Keadilan Distributif yaitu suatu
hubungan keadilan antara negara terhadap warganya,dalam arti pihak negaralah
yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi,dalam bentuk
kesejahteraan, bantuan, subsidi, serta kesempatan dalam hidup bersama yang
didasarkan atas hak dan kewajiban. (2) Keadilan
Legal (keadilan bertaat) yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara
terhadap negara dan dalam pihak ini wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam
bentuk menaati perundang-undangan yang berlaku dalam negara. (3) Keadilan Komulatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga
satu dengan lainnya secara timbal balik.
KASUS
Sistem Politik
Tidak
Memungkinkan Lahirnya Negarawan
Era globalisasi
sangat didominasi kepentingan rakyat,ekonomi,perdagangan,teknologi,dan
informasi,tetap membutuhkan bidang politik dalam upaya mencari solusi dengan
cara terbaik untuk mengatasi permasalahan yang menyertai kehidupan masyarakat
di era globalisasi tersebut.
“Akan tetapi,untuk mengimbangi
perkembangan kehidupan yang semakin pesat tersebut, tantangan dalam dunia
politik yang berpikir untuk kepentingan masyarakat luas dan bukan hanya berpola
pikir politis, lawan dan kawan”. Hal tersebut dikatakan Prof Dr Ryaas Rasyid
yang disampaikan dalam orasi imiah pengukuhan guru besar Institut Ilmu
Pemerintahan.
Ryaas berpendapat, sistem politik
yang berlaku saat ini tidak memungkinkan lahirnya negarawan karena tidak adanya
kesempatan untuk berdebat dan bertukar pikiran. Politisi kita cenderung
berpikir secara natural mengacu pada konsep kawan dan lawan. Politisi menurut
Ryaas Rasyid, selalu bertindak dan berbuat sesuai kepentingan yang sangat
subjektif dengan mementingkan kepentingan kelompok , lokalitas, agama, ras,
suku, dan sebebagainya. Kepentingan- kepentingan ini akan bertabrakan dengan
kepentingan yang lebih luas dalam perdebatan politik.
“Dalam sistem politik yang
demokratis, perdebatan ini akan mengasah politisi utuk berpikir demi
kepentingan yang lebih luas dan tidak hanya untuk kepentingan golongan yang
diwakilinya,” katanya
Ia mencontohkan cara berpikir siapa
kawan siapa lawan ini masih tampak dalam kehidupan politik, terutama dalam
ormas, orsospol maupun pemimpin daerah seperti bupati dan gubernur. Kalau
politisi kita mementingkan kepentingan orang banyak, mestinya begitu ada
kelompok yang menang pihak yang kalah harus mendukung dan bukan membentuk
barisan oposisi dengan membuat tandingan dan sebagainya.
ANALISIS
Dalam permasalahan tersebut dapat
diambil intinya yaitu bahwa setiap Politisi yang ada di Indonesia ini harus
berpola pikir yang cerdas, tidak hanya memikirkan keuntungan sepihak melaikan
untuk kepentingan seluruh masyarakat Indonesia.
Seperti yang tercantum dalam sila
keempat dan kelima yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta Keadilan Sosial bagi seluruh bangsa
Indonesia. Maka oleh sebab itu segala bentuk perbedaan pendapat harus di
pecahkan dengan jalan musyawarah agar tercapainya hasil yang baik dan dengan
jalan keadilan sosial maka akan terciptanya perdamaian dan kesejahteraan bagi
seluruh Rakyat Indonesia tanpa adanya perdebatan dan permusuhan.
Untuk menciptakan lahirnya politisi
yang berkualitas maka perlunya memberi peluang keleluasaan pada anggota DPR
untuk lebih aktif dalam proses deliberasi, diskursus, dan perdebatan.
DAFTAR PUSTAKA
Poespowardoyo,
Soeryanto. 1989. Filsafat Pancasila.
Jakarta: PT. Gramedia
Kodhi. S.A dan
Soejadi, R. 1994. Filsafat, Ideologi, dan
wawasan Bangsa Indonesia .Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya
Kaelan. 2002. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:
paradigma
Prof. Dr Ryaas
Rasyid. Suara Pembaruan, 26 Feb 97
Komentar
Posting Komentar